Penampilan kinerja Dolby 3D yg dipakai pada
film ‘Journey to The Center of The Earth – 3D’ di gedung bioskop Plaza Senayan XXI sangatlah
menyakinkan. Gambar 3D yg stabil, detil, jernih dan tidak membuat sakit kepala
atau pusing. Ngga’ ada salahnya artikel kali ini kita mengupas cara kerja Dolby
3D.
Sebelum lanjut membahas cara kerja Dolby 3D ada
baiknya meninjau perkembangan beberapa
teknik menampilkan film 3D di gedung bioskop.
Anaglyph
Teknik yg paling awal dan sederhana ini cukup
sukses diawal-awal zaman keemasan film 3D. Hanya dng kaca mata merah-sian (biru
muda), sdh dpt memfilter gambar kiri dan kanan pada layar putih di gedung
bioskop. Teknik ini juga tidak memerlukan projektor khusus, cukup hanya satu
projektor film (celuloid) ataupun Digital Cinema sudah bisa memainkan film 3D.
Hal ini dimungkinkan karena materi film lah yg berformat anaglyph. Disamping
kemudahannya, memang ada kekurangannya yaitu warna film menjadi terdistorsi
khususnya pada gambar disparity yaitu gambar rangkap 2 yg terpisah krn adanya
beda paralax akan berwarna merah dan cyan
berdampingan. Warna yg timpang tsb membuat penonton tidak cukup nyaman untuk menonton film panjang, dimana
mata kiri selalu melihat dng kaca mata filter merah dan kanan dng kaca mata
sian. Oleh sebab itu, pada film spt ‘Spykid 3D’ ada jeda adegan non-3D kurang
lebih setalah 15menit pertunjukkan 3D agar, mata penonton bisa istirahat.
Polarisazed (polarisasi)
Tenik ini muncul di awal thn 50an, dng prisip
bahwa sinar bisa diatur rambatannya dng sudut kutub tertentu. Sehingga dua
gambar stereoskopis bisa difilter dng kutub yg berbeda. Umumnya mata kiri dng
kutub 0 derajat dan kanan 90 derajat (ada juga yg -45 dan 45). Gambar kiri dan
kanan bertumpang tindih pada layar akan disaring dng sempurna sesuai sudut
kutub pada kacamata yg dikenakan penonton. Teknik polarisasi ini membuat
penonton merasa nyaman krn film disajikan dalam tata warna penuh. Adegan-adegan
film 3D menjadi lebih nyata. Hanya saja teknik ini merepotkan atau memerlukan
biaya tambahan bagi pihak bioskop. Teknik mengharuskan memakai dua projetor
kembar (baik yg Digital Cinema ataupun analog -film celuloid) dan layarnya
harus khusus pula, yaitu silver screen. Ini dimaksud agar sinar terpolarisasi
tsb sampai sempurna ke kacamata penonton. Repotnya lagi, setelah bioskop dibuat
untuk 3D selanjutnya tdak cocok lagi untuk memutar film biasa (2D), krn layar
perak tadi menjadi tidak nyaman. Biasanya teknik polarisasi ini sering dipakai
pada gedung bioskop yg hanya khusus memutar film 3D saja. Film-film dokumenter atau hiburan pendek spt
bisa anda saksikan Biokop 4D di Ancol atau The Jungle (Bogor). Tentu teknik ini
akan menambah biaya yg besar pada gedung bioskop biasa untuk film-film panjang.
Apalagi film 2D masih lebih dominan daripada 3D. Sehingga investasi di bioskop
film biasa menjadi mubazir.
Liquid Crystal Display (LCD) Shutter
Teknik ini lebih cocok hanya untuk Digital
Cinema. Dan tidak perlu layar perak atau dua projector selama pemutaran film
3D. Hal ini memungkinkan karena gambar kiri dan kanan ditampilkan tidak secara
bersamaan spt teknik polarisasi diatas, melainkan bergantian sangat cepat 144
frame/detik. Agar mata kiri hanya menangkap gambar informasi kiri, diperlukan
kacamata LCD shutter yg akan berkedip bergantian untk memblokir mata kanan dan
kiri bergantian sehingga serempak dng tampilan gambar kiri-kanan di layar
bioskop. Hasilnya cukup menyakinkan, film 3D mampu tampil dng warna penuh seperti
halnya teknik polarisasi. Hambatan dari teknik ini adalah biaya kacamata yg
menjadi mahal dan memerlukan rangkain elektronik yg aktif (memerlukan bettery,
kabel sycn atau freq radio) pada setiap kacamata yg dipakai penonton. Dan
kekurangan lainnya yg sering terjadi, teknik ini tidak handal untuk gedung
bioskop dng kapasitas lebih dari 200 orang. Selain biaya mahal juga tidak bisa
menjamin semua kaca mata tidak kehabisan battery atau kedipannya tidak sinkron
dng tampilan gambar di layar. Yg jelas kaca mata LCD tidak seringan dan semurah
anaglyph atau polarisasi di atas.
Teknik Terkini
Ada 3 metode yg menjanjikan untuk dipakai pada
film-film 3D terkini dan akan datang, yaitu XpanD, RealD dan Dolby 3D. Teknik
yg terkini tsb bersaing untuk dipakai secara umum pada film cerita 3D. Semuanya
berusaha mengambil keuntungan ke tiga teknik terdahulu di atas dan juga
berusaha menghilangkan kekurangan-kekurangannya. Memang ketiga metode 3D
terkini sangat diuntungkan dng perkembang perbioskopan ke arah Digital Cinema. Nontonlah
sebuah film dari Digital Cinema pada minggu terakhir film tsb diputar, kita
tidak akan menemukan penurunan mutu warna atau garis-garis goresan krn film
telah diputar puluhan kali di gedung bioskop. Misalkan, satu hari sebuah judul
film umumnya diputar 5 kali pertujukan, bila film box-office akan bertahan
dibioskop 21 hari, maka pada film celuloid akan kena lampu dan projector’s sprocket sebanyak 100-an lebih.
Biasanya film celuloid mulai kelihat garis2 goresan ketika diputar untuk ke 30
kalinya. Hal ini tdk akan ditemukan pada Digital Cinema.
Untuk artikel ini hanya membahas Dolby 3D.
Selain itu, RealD ternyata masih memakai circulary polarization glasses artiya
masih perlu layar khusus dan Xpand tetap menghandalkan Active Glasses. Oleh Krn
itu banyak gedung biokop di dunia ‘senang’ memilih teknik Dolby 3D pada gedung
bioskop yg sdh ada. Dolby 3D tidak memerlukan layar perak seperti halnya teknik
polarisasi. Layar putih yg terdapat pada umumnya pada gedung biokop masih tetap
terpakai. Untungnya lagi, cukup memerlukan satu Digital Cinema Projector saja,
tentu yg telah dimodifikasi sedikit. Selanjutnya projektor hasil modifikasi
masih bisa terpakai lagi untuk film 2D biasa. Tidak perlu kaca mata aktif, jadi
tetap kacamata pasif mirip kacamata anaglyph atau polarisasi yg tidak ada
battery atau rangkaian elektronik pada kacamata. Alhasil kacamata Dolby 3D
tetap ringan.
Cara Kerja Dolby 3D
Dolby 3D memakai teknik ‘wavelenght triplet‘ yg
asalnya dikembangkan oleh perusahaan Infitec dari Jerman. Di dalam projector
Digital Cinema, umumnya memakai DLP dng tiga warna primer, yaitu
merah-hijau-biru atau sering disingkat dng RGB (Red, Green, Blue). Dengan Dolby
3D, ketiga panjang gelombang (pada masing2 warna dasar) dibagi lagi menjadi
dua. Sehingga terdapat warna merah utama dan merah dng panjang gelombang
sedikit bergeser di bawah merah yg utama. Begitu juga dng yg biru dan hijau
memiliki ‘kembarannya’ dng panjang gelombang sedikit dibawah. (lihat gambar)
pembagian panjang gelombang cahaya pada RGB
Nah, warna RGB yg utama akan menampilkan
gambar-kanan sedangkan RGB yg sedikit dibawah panjang gelombang RGB utama akan
menampilkan gambar kiri. Selanjutnya setelah diproyeksi ke layar putih yg pada umumnya di gedung2 bioskop, penonton
akan memakai kacamata khusus. Dimana filter ini kacamata yg kiri sesuai dng
panjang gelombangnya.
Karena Dobly 3D memakai satu projektor saja,
maka frame gambar kiri dan kanan ditampil bergantian. Jangan kuatir akan
terlihat kedipan selama menonton film 3D, karena pergantian frame (frame rate)
sangat cepat yaitu 144 frame/detik atau masing gambar kiri atau kanan mendapat
72 frame/detik (bandingkan dng projector celuloid – 24 frame/detik). Dan urutan gambar kiri dan kanan yg sangat
tinggi itu hanya terjadi di sisi projector saja, tidak pada kacamata penonton.
Ingat, kacamata penonton tetap bersifat pasif.
Agar saat gambar kiri menghasilkan panjang
gelombang yg sedikit begeser, maka projector memerlukan modifikasi kecil dng menambahkan filter
berbentuk cakram. Cakram ini berputar persis di depan lampu projektor sebelum
‘image device’- DLP. Cakram terdiri dari dua filter warna yg akan mempengaruhi
panjang gelombang cahaya putih dari lampu projector. Rotasi filter cakram akan
diselaraskan dng tampilan gambar kiri-kanan yg bergantian di DLP. (Lihat
gambar)
Dengan teknik Dolby 3D, pemilik bioskop (yg sdh
ber-Digital CInema, tentunya), tidak perlu mengubah layar atau menambah
projector hanya sekedar untuk memutar film 3D saja. Bila ingin memutar kembali
film 2D, cukup melepas atau menggeser (secara elektronik) filter carkram tsb
dari lampu projektor.
Jika kita amati cara kerja dolby 3D:
- mirip gabungan antara teknik anaglyph (yg
memanfaatkan spetrum warna) dan teknik LCD shutter (yg ingin memanfaatkan satu
projector saja). Namun berbeda dng anaglyph, disparity image yaitu gambar
rangkap 2 yg terpisah krn adanya beda paralax akan berwarna merah dan cyan berdampingan, sehingga dng anaglyph membuat
warna film selama pertunjukan 3D menjadi terdistorsi. Hal ini tidak terjadi di
Dolby 3D, krn masing2 mata tetap mendapatkan spektrum warna yg utuh &
lengkap.
- prosess pengiriman gambar stereoskopis ke
penonton terjadi pada proses akhir presentasi film, yaitu di projektor gedung
bioskop. Artinya, film/gambar 3D yg memuat informasi stereoskopik (kiri &
kanan) apasaja dpt ditampil dng Dolby 3D. Ini juga meringankan si pembuat film
3D yg tidak perlu memikirkan teknik akhir penyajian tiga dimensi pada penonton.
Kaca mata Dolby 3D
Kacamata ini memang tidak sesederhana bila
dibandingkan dng kacamata anaglyph ataupun kacamata polarisasi. Dilapisi dng
beberapa lapisan (coating) dng teknik yg sangat presisi dan agar tidak terjadi
bocor dan memfilter sesuai panjang gelombang cahaya yg diproduksi oleh
projektor. Bila dilihat sepintas,
coating-nya mirip lensa kamera (emas keperakan), dan tidak segelap pada
kacamata hitam (sun glasses).
Kacamata pasif dan bening
Kita amati ketika memakai kacamata dolby 3D,
cobalah memejamkan mata kanan maka mata kiri akan melihat gambar (kiri) yg
sedikit lebih pucat dan berwarna dingin. Sebaliknya bila kita memejamkan mata
kiri, maka gambar kanan lebih terlihat saturated dan berwarna lebih hangat.
Namum perbedaan tsb sangat halus. Boleh dikatakan hampir tidak terasa pada
beberapa orang. Tapi hasil penyaringan kacamata sangat mengagumkan. Ketika saya
menonton ‘Journey to The Center of The Earth – 3D (….hingga 2x lho) baik pada
adegan gelap dalam gua atau cerah-kontras pada adegan siang hari, tidak pernah saya
jumpai ghosting image bahkan saat gambar memiliki area yg gelap dan terang
sangat mencolok sekalipun. Juga pada saat lampu ruangan bioskop dinyalakan pada
akhir film (ending credit title – biasanya penonton sdh berjalan menuju pintu
keluar), kacamata ini masih bisa memfilter dng baik dan sensasi 3D tetap tampil
sempurna dan stabil tanpa bayangan bocor antara gambar kiri dan kanan, tulisan
nama-nama aktor, aktris dan crew film masih tampil melayang mendekati penonton.
..hmm hal yg sulit dicapai pada sistem anaglyph.
- referensi cara kerja Dolby 3D dari SINI
- untuk infromasi lebih jauh tentang Dolby 3D
dpt dilihat di SINI
Memang Kacamata Dolby 3D lebih mahal (harganya
sekitar $ 40) dari pada kaca mata anaglyph ataupun polarized(sekitar $1 hingga
$5) tetapi tidak semahal LCD shutter glasses (lebih dari $ 100), krn kaca mata
Dolby 3D tetap pasif alias tidak ada rangkaian elektroniknya. Namun masih mahal
untuk diberikan secara cuma-cuma kepada penonton usai pertunjukan. Makanya gedung
biokop dan kacamata dilengkapi sensor anti-curi (he he he), alaram di pintu
akan berbunyi bila kacamata dibawa keluar dari ruang theater bahkan untuk ke WC
sekalipun.
Kacamata dilengkapi anti-curi dng bingkai
plastik dan filter kaca.
Bila Dolby 3D menjadi umum dikemudian hari,
diharapkan kacamata ini dapat dibeli bebas. Penonton bisa memiliki dan membawa
sendiri kacamatanya ke gedung bioskop bila ingin menonton film 3D. Ya, seperti
kita membawa kacamata renang sendiri bila mau berenang ke kolam renang, bukan.