Aplikasi Game Pada Smartphone


 Pertikaian mengenai Flash antara Apple dan Adobe tampaknya masih akan berlanjut. Di satu sisi, Apple bersikeras untuk tidak memberi izin kepada Flash dan teknologi lain yang serupa untuk dapat digunakan di platform bergerak milik mereka, baik itu iPhone, iPod touch, maupun iPad.

Di lain sisi, Adobe merasa bahwa Flash adalah komponen penting pada teknologi web dan harus dapat digunakan di semua platform. Sudah tiga tahun sejak Apple meluncurkan iPhone namun sampai sekarang pun Adobe masih belum dapat mengembangkan Flash yang bisa berfungsi stabil dan hemat daya pada platform bergerak, baik itu iPhone OS, Android, ataupun Windows Mobile. Fungsi ini juga lumpuh pada browser perangkat bergerak populer, Opera. Namun belakangan, Adobe berhasil menunjukkan prototipe Flash yang dapat dijalankan di Nexus One dan tablet Android. Sayangnya, kemampuan Flash di kedua perangkat itu tetap tidak stabil dan malah mematikan browser yang sedang dijalankan.

Sebelum diluncurkannya iPad pada 30 April, Apple memperbarui dokumen perjanjian pengembang software iPhone OS dengan menambahkan klausul 3.3.1. Klausul ini melarang penggunaan software yang dapat digunakan untuk mengembangkan aplikasi.

Surat Steve Jobs
Menanggapi berbagai rumor berbagai pihak mengenai Flash dan Apple yang kian simpang siur, Steve Jobs memaparkan alasan-alasannya di situs Apple, mengapa Flash tidak diperkenankannya pada produk mereka. Ia menyatakan bahwa pada awalnya Apple dan Adobe memang 'teman dekat' dan bekerja sama dalam banyak hal, namun lama kelamaan kedua perusahaan tersebut makin bertolak belakang, akibat beda kepentingan. Meski demikian, sekitar setengah pelanggan Adobe, masih setia menggunakan Mac meski Apple dan Adobe sudah tidak lagi semesra dulu.

Steve Jobs kemudian menjelaskan perbedaan persepsi yang dimiliki oleh publik mengenai pernyataan Adobe beberapa hari sebelumnya mengenai perbedaan sistem yang dianut kedua pihak. Menurutnya, apa yang dituduhkan Adobe bahwa Apple merupakan sistem tertutup tidaklah benar. Jobs malah balik menuduh bahwa Flash-lah yang menerapkan teknologi tertutup. Ini didasarkan pada fakta bahwa Adobe-lah yang mengendalikan seluruh perkembangan Flash. Meskipun perangkat lunak ini tersedia untuk umum dan dapat digunakan oleh siapa saja.




Tapi, Jobs pun mengakui soal ketertutupan iPhone OS dan aplikasinya dalam hal penggunaan teknologi web, Tapi bukan berarti Apple tak mendukung usaha standar terbuka secara penuh. Untuk mendukung ide tersebut, Apple mengimplementasikan HTML5, CSS dan JavaScript yang umum digunakan. Ketiganya akan dioptimalkan untuk meramban pada perangkat bergerak, karena ketiganya lebih menghemat daya. Menurut Jobs, Flash menguras baterai jauh lebih cepat pada perangkat bergerak. Padahal, daya tahan baterai merupakan salah satu faktor terpenting yang patut diperhitungkan pada perangkat bergerak.

Shantanu Narayen membalas keesokan harinya dengan mengatakan bahwa pengubahan klausul tersebut oleh Apple tidak ada hubungannya dengan teknologi namun lebih terkait soal bisnis. Tidak lama kemudian, Adobe melaporkan Apple kepada Komisi Perdagangan Federal atas dasar gerakan anti kompetitif.

Sejak tahun 2008, banyak yang yang berkomentar bahwa Apple menutup platform iPhone untuk kepentingan bisnis. Tidak kompatibelnya Flash pada iPhone, membuat banyak game Flash di web tidak dapat dimainkan karena iPhone tidak mengenalinya. Sebagai gantinya, Apple menyediakan App Store, toko yang kini memiliki sekitar 200 ribu aplikasi dan game baik gratis maupun berbayar.

Jika bisnis adalah alasan Apple untuk menutup akses terhadap teknologi semacam Flash, tentu Apple akan mati-matian mempromosikan aplikasi di App Store dan mendorong pengembang untuk menaikkan harga aplikasi dan game mereka. Pada kenyataannya, komisi 30% dari setiap penjualan aplikasi yang dijual di App Store, Apple hanya membukukan pemasukan yang tidak jauh dari batas balik modal tiap kuartalnya.

Platform Baru
Apple kini memiliki platform baru yang sama sekali berbeda dengan platform yang pernah ada sebelumnya. Dengan platform ini, Apple merasa memiliki wewenang untuk mengatur apa yang boleh dan tidak boleh ada di dalamnya demi kelangsungan platform itu sendiri. Apple menyadari bahwa jika sejak awal mereka bergantung kepada pihak ketiga untuk pengembangan, maka seterusnya mereka akan tergantung.

Dengan mengunci platform pada masa awal ini, mereka akan jauh lebih leluasa menentukan arah yang mereka inginkan untuk iPhone OS dengan cara yang mereka tetapkan. Perkembangan OS X sempat terhambat karena bergantung pada CodeWarrior dan Freescale (dulu Metrowerks) milik Microsoft dan Adobe untuk mengembangkan software Mac mereka.

Jika Flash, Microsoft Silverlight, atau teknologi tertutup lain menjadi dominan di platform iPhone OS, Apple akan kehilangan kendali atas arah dan pengembangan platform yang mereka miliki. Ketergantungan kepada pihak ketiga ini akan mengikat Apple dan memperlambat kemajuan atau perubahan yang perlu dilakukan untuk menyempurnakan platform mereka. Apa yang Adobe maupun Microsoft inginkan pastinya berbeda dengan apa yang Apple inginkan.

Adobe ingin Flash menjadi lingkungan software yang ada di setiap platform baik itu iPhone OS, Symbian, Mac OS X, Windows, Android maupun Chrome OS. Microsoft pun menginginkan hal yang sama dengan Silverlight. Jika itu terjadi, Flash dan Silverlight akan mendominasi media baru di atas platform. Sehingga pengembang akan terkekang dengan membuat aplikasi berdasarkan standar kedua teknologi tersebut. Bukan menurut spesifikasi, kemampuan, dan keunggulan perangkat yang tersedia dari masing-masing pemilik platform.(Macworld/roc)


Sekilas Cara Kerja Dolby 3D


Penampilan kinerja Dolby 3D yg dipakai pada film ‘Journey to The Center of The Earth – 3D’ di gedung  bioskop Plaza Senayan XXI sangatlah menyakinkan. Gambar 3D yg stabil, detil, jernih dan tidak membuat sakit kepala atau pusing. Ngga’ ada salahnya artikel kali ini kita mengupas cara kerja Dolby 3D.

Sebelum lanjut membahas cara kerja Dolby 3D ada baiknya meninjau  perkembangan beberapa teknik menampilkan film 3D di gedung bioskop.

Anaglyph
Teknik yg paling awal dan sederhana ini cukup sukses diawal-awal zaman keemasan film 3D. Hanya dng kaca mata merah-sian (biru muda), sdh dpt memfilter gambar kiri dan kanan pada layar putih di gedung bioskop. Teknik ini juga tidak memerlukan projektor khusus, cukup hanya satu projektor film (celuloid) ataupun Digital Cinema sudah bisa memainkan film 3D. Hal ini dimungkinkan karena materi film lah yg berformat anaglyph. Disamping kemudahannya, memang ada kekurangannya yaitu warna film menjadi terdistorsi khususnya pada gambar disparity yaitu gambar rangkap 2 yg terpisah krn adanya beda paralax akan berwarna merah dan cyan  berdampingan. Warna yg timpang tsb membuat penonton tidak cukup  nyaman untuk menonton film panjang, dimana mata kiri selalu melihat dng kaca mata filter merah dan kanan dng kaca mata sian. Oleh sebab itu, pada film spt ‘Spykid 3D’ ada jeda adegan non-3D kurang lebih setalah 15menit pertunjukkan 3D agar, mata penonton bisa istirahat.

Polarisazed (polarisasi)
Tenik ini muncul di awal thn 50an, dng prisip bahwa sinar bisa diatur rambatannya dng sudut kutub tertentu. Sehingga dua gambar stereoskopis bisa difilter dng kutub yg berbeda. Umumnya mata kiri dng kutub 0 derajat dan kanan 90 derajat (ada juga yg -45 dan 45). Gambar kiri dan kanan bertumpang tindih pada layar akan disaring dng sempurna sesuai sudut kutub pada kacamata yg dikenakan penonton. Teknik polarisasi ini membuat penonton merasa nyaman krn film disajikan dalam tata warna penuh. Adegan-adegan film 3D menjadi lebih nyata. Hanya saja teknik ini merepotkan atau memerlukan biaya tambahan bagi pihak bioskop. Teknik mengharuskan memakai dua projetor kembar (baik yg Digital Cinema ataupun analog -film celuloid) dan layarnya harus khusus pula, yaitu silver screen. Ini dimaksud agar sinar terpolarisasi tsb sampai sempurna ke kacamata penonton. Repotnya lagi, setelah bioskop dibuat untuk 3D selanjutnya tdak cocok lagi untuk memutar film biasa (2D), krn layar perak tadi menjadi tidak nyaman. Biasanya teknik polarisasi ini sering dipakai pada gedung bioskop yg hanya khusus memutar film 3D saja.  Film-film dokumenter atau hiburan pendek spt bisa anda saksikan Biokop 4D di Ancol atau The Jungle (Bogor). Tentu teknik ini akan menambah biaya yg besar pada gedung bioskop biasa untuk film-film panjang. Apalagi film 2D masih lebih dominan daripada 3D. Sehingga investasi di bioskop film biasa menjadi mubazir.

Liquid Crystal Display (LCD) Shutter
Teknik ini lebih cocok hanya untuk Digital Cinema. Dan tidak perlu layar perak atau dua projector selama pemutaran film 3D. Hal ini memungkinkan karena gambar kiri dan kanan ditampilkan tidak secara bersamaan spt teknik polarisasi diatas, melainkan bergantian sangat cepat 144 frame/detik. Agar mata kiri hanya menangkap gambar informasi kiri, diperlukan kacamata LCD shutter yg akan berkedip bergantian untk memblokir mata kanan dan kiri bergantian sehingga serempak dng tampilan gambar kiri-kanan di layar bioskop. Hasilnya cukup menyakinkan, film 3D mampu tampil dng warna penuh seperti halnya teknik polarisasi. Hambatan dari teknik ini adalah biaya kacamata yg menjadi mahal dan memerlukan rangkain elektronik yg aktif (memerlukan bettery, kabel sycn atau freq radio) pada setiap kacamata yg dipakai penonton. Dan kekurangan lainnya yg sering terjadi, teknik ini tidak handal untuk gedung bioskop dng kapasitas lebih dari 200 orang. Selain biaya mahal juga tidak bisa menjamin semua kaca mata tidak kehabisan battery atau kedipannya tidak sinkron dng tampilan gambar di layar. Yg jelas kaca mata LCD tidak seringan dan semurah anaglyph atau polarisasi di atas.

Teknik Terkini
Ada 3 metode yg menjanjikan untuk dipakai pada film-film 3D terkini dan akan datang, yaitu XpanD, RealD dan Dolby 3D. Teknik yg terkini tsb bersaing untuk dipakai secara umum pada film cerita 3D. Semuanya berusaha mengambil keuntungan ke tiga teknik terdahulu di atas dan juga berusaha menghilangkan kekurangan-kekurangannya. Memang ketiga metode 3D terkini sangat diuntungkan dng perkembang perbioskopan ke arah Digital Cinema. Nontonlah sebuah film dari Digital Cinema pada minggu terakhir film tsb diputar, kita tidak akan menemukan penurunan mutu warna atau garis-garis goresan krn film telah diputar puluhan kali di gedung bioskop. Misalkan, satu hari sebuah judul film umumnya diputar 5 kali pertujukan, bila film box-office akan bertahan dibioskop 21 hari, maka pada film celuloid akan kena lampu dan  projector’s sprocket sebanyak 100-an lebih. Biasanya film celuloid mulai kelihat garis2 goresan ketika diputar untuk ke 30 kalinya. Hal ini tdk akan ditemukan pada Digital Cinema.

Untuk artikel ini hanya membahas Dolby 3D. Selain itu, RealD ternyata masih memakai circulary polarization glasses artiya masih perlu layar khusus dan Xpand tetap menghandalkan Active Glasses. Oleh Krn itu banyak gedung biokop di dunia ‘senang’ memilih teknik Dolby 3D pada gedung bioskop yg sdh ada. Dolby 3D tidak memerlukan layar perak seperti halnya teknik polarisasi. Layar putih yg terdapat pada umumnya pada gedung biokop masih tetap terpakai. Untungnya lagi, cukup memerlukan satu Digital Cinema Projector saja, tentu yg telah dimodifikasi sedikit. Selanjutnya projektor hasil modifikasi masih bisa terpakai lagi untuk film 2D biasa. Tidak perlu kaca mata aktif, jadi tetap kacamata pasif mirip kacamata anaglyph atau polarisasi yg tidak ada battery atau rangkaian elektronik pada kacamata. Alhasil kacamata Dolby 3D tetap ringan.

Cara Kerja Dolby 3D
Dolby 3D memakai teknik ‘wavelenght triplet‘ yg asalnya dikembangkan oleh perusahaan Infitec dari Jerman. Di dalam projector Digital Cinema, umumnya memakai DLP dng tiga warna primer, yaitu merah-hijau-biru atau sering disingkat dng RGB (Red, Green, Blue). Dengan Dolby 3D, ketiga panjang gelombang (pada masing2 warna dasar) dibagi lagi menjadi dua. Sehingga terdapat warna merah utama dan merah dng panjang gelombang sedikit bergeser di bawah merah yg utama. Begitu juga dng yg biru dan hijau memiliki ‘kembarannya’ dng panjang gelombang sedikit dibawah. (lihat gambar)


pembagian panjang gelombang cahaya pada RGB

Nah, warna RGB yg utama akan menampilkan gambar-kanan sedangkan RGB yg sedikit dibawah panjang gelombang RGB utama akan menampilkan gambar kiri. Selanjutnya setelah diproyeksi ke layar putih yg  pada umumnya di gedung2 bioskop, penonton akan memakai kacamata khusus. Dimana filter ini kacamata yg kiri sesuai dng panjang gelombangnya.

Karena Dobly 3D memakai satu projektor saja, maka frame gambar kiri dan kanan ditampil bergantian. Jangan kuatir akan terlihat kedipan selama menonton film 3D, karena pergantian frame (frame rate) sangat cepat yaitu 144 frame/detik atau masing gambar kiri atau kanan mendapat 72 frame/detik (bandingkan dng projector celuloid – 24 frame/detik).  Dan urutan gambar kiri dan kanan yg sangat tinggi itu hanya terjadi di sisi projector saja, tidak pada kacamata penonton. Ingat, kacamata penonton tetap bersifat pasif.

Agar saat gambar kiri menghasilkan panjang gelombang yg sedikit begeser, maka projector memerlukan  modifikasi kecil dng menambahkan filter berbentuk cakram. Cakram ini berputar persis di depan lampu projektor sebelum ‘image device’- DLP. Cakram terdiri dari dua filter warna yg akan mempengaruhi panjang gelombang cahaya putih dari lampu projector. Rotasi filter cakram akan diselaraskan dng tampilan gambar kiri-kanan yg bergantian di DLP. (Lihat gambar)

Dengan teknik Dolby 3D, pemilik bioskop (yg sdh ber-Digital CInema, tentunya), tidak perlu mengubah layar atau menambah projector hanya sekedar untuk memutar film 3D saja. Bila ingin memutar kembali film 2D, cukup melepas atau menggeser (secara elektronik) filter carkram tsb dari lampu projektor.

Jika kita amati cara kerja dolby 3D:
- mirip gabungan antara teknik anaglyph (yg memanfaatkan spetrum warna) dan teknik LCD shutter (yg ingin memanfaatkan satu projector saja). Namun berbeda dng anaglyph, disparity image yaitu gambar rangkap 2 yg terpisah krn adanya beda paralax akan berwarna merah dan cyan  berdampingan, sehingga dng anaglyph membuat warna film selama pertunjukan 3D menjadi terdistorsi. Hal ini tidak terjadi di Dolby 3D, krn masing2 mata tetap mendapatkan spektrum warna yg utuh & lengkap.
- prosess pengiriman gambar stereoskopis ke penonton terjadi pada proses akhir presentasi film, yaitu di projektor gedung bioskop. Artinya, film/gambar 3D yg memuat informasi stereoskopik (kiri & kanan) apasaja dpt ditampil dng Dolby 3D. Ini juga meringankan si pembuat film 3D yg tidak perlu memikirkan teknik akhir penyajian tiga dimensi pada penonton.

Kaca mata Dolby 3D
Kacamata ini memang tidak sesederhana bila dibandingkan dng kacamata anaglyph ataupun kacamata polarisasi. Dilapisi dng beberapa lapisan (coating) dng teknik yg sangat presisi dan agar tidak terjadi bocor dan memfilter sesuai panjang gelombang cahaya yg diproduksi oleh projektor.  Bila dilihat sepintas, coating-nya mirip lensa kamera (emas keperakan), dan tidak segelap pada kacamata hitam (sun glasses).


Kacamata pasif dan bening

Kita amati ketika memakai kacamata dolby 3D, cobalah memejamkan mata kanan maka mata kiri akan melihat gambar (kiri) yg sedikit lebih pucat dan berwarna dingin. Sebaliknya bila kita memejamkan mata kiri, maka gambar kanan lebih terlihat saturated dan berwarna lebih hangat. Namum perbedaan tsb sangat halus. Boleh dikatakan hampir tidak terasa pada beberapa orang. Tapi hasil penyaringan kacamata sangat mengagumkan. Ketika saya menonton ‘Journey to The Center of The Earth – 3D (….hingga 2x lho) baik pada adegan gelap dalam gua atau cerah-kontras pada adegan siang hari, tidak pernah saya jumpai ghosting image bahkan saat gambar memiliki area yg gelap dan terang sangat mencolok sekalipun. Juga pada saat lampu ruangan bioskop dinyalakan pada akhir film (ending credit title – biasanya penonton sdh berjalan menuju pintu keluar), kacamata ini masih bisa memfilter dng baik dan sensasi 3D tetap tampil sempurna dan stabil tanpa bayangan bocor antara gambar kiri dan kanan, tulisan nama-nama aktor, aktris dan crew film masih tampil melayang mendekati penonton. ..hmm hal yg sulit dicapai pada sistem anaglyph.

- referensi cara kerja Dolby 3D dari  SINI
- untuk infromasi lebih jauh tentang Dolby 3D dpt dilihat di SINI

Memang Kacamata Dolby 3D lebih mahal (harganya sekitar $ 40) dari pada kaca mata anaglyph ataupun polarized(sekitar $1 hingga $5) tetapi tidak semahal LCD shutter glasses (lebih dari $ 100), krn kaca mata Dolby 3D tetap pasif alias tidak ada rangkaian elektroniknya. Namun masih mahal untuk diberikan secara cuma-cuma kepada penonton usai pertunjukan. Makanya gedung biokop dan kacamata dilengkapi sensor anti-curi (he he he), alaram di pintu akan berbunyi bila kacamata dibawa keluar dari ruang theater bahkan untuk ke WC sekalipun.


Kacamata dilengkapi anti-curi dng bingkai plastik dan filter kaca.

Bila Dolby 3D menjadi umum dikemudian hari, diharapkan kacamata ini dapat dibeli bebas. Penonton bisa memiliki dan membawa sendiri kacamatanya ke gedung bioskop bila ingin menonton film 3D. Ya, seperti kita membawa kacamata renang sendiri bila mau berenang ke kolam renang, bukan.

Digital Cinema


Digital Cinema adalah sebuah konsep, sebuah sistem yang lengkap, meliputi seluruh rantai produksi film dare akuisisi dengan kamera digital untuk pasca-produksi, distribusi ke semua pameran, dengan bit dan byte bukan 35mm gulungan '(Michel 2003).

Digital produksi dan pasca produksi

Sampai saat ini, proses pembuatan film yang sebenarnya dari sebuah produksi film telah menggunakan 35mm atau 70mm roll film kamera yang menggunakan tabung-tabung seluloid. Gambar kualitas yang dihasilkan oleh kamera digital dirasakan secara signifikan lebih rendah dari film, dan sementara rekaman film semakin dimotori oleh komputer untuk pascaproduksi
manipulasi, proses produksi itu sendiri tetap berbasis seluloid.
Dalam teori, Digital Cinema dimulai pada akhir tahun 1980an, ketika Sony datang dengan konsep pemasaran 'sinematografi elektronik'. Tetapi, inisiatif ini gagal. Pada akhir tahun 1990-an, dengan pengenalan perekam HDCAM dan penggantian nama dari proses 'sinematografi digital' pembuatan film menggunakan kamera digital dan peralatan terkait akhirnya mulai berjalan.
George Lucas berperan penting dalam melahirkan pergeseran ini, ketika pada tahun 2001-2 dia
shooting 'Attack dari Klon' episode Star Wars digital, menggunakan Sony HDW-F900 HDCAM yang dilengkapi dengan lensa Panavision camcorder high-end. Ini sebenarnya adalah shooting pertama dengan kamera Sony. Sementara mampu shooting dengan gambar standar Amerika konvensional 30-frame/second interlaced, kamera ini juga bisa men-shoot 24-frames/second, standar untuk film, dan juga video progresif, video terdiri dari bingkai lengkap.

High-end kamera menggunakan sensor tunggal yang merupakan ukuran yang sama seperti film 35mm frame, dan memungkinkan kedalaman dangkal sama lapangan seperti kamera film konvensional. Selain itu, pengambilan gambar dalam format HDTV progresif memberikan ukuran gambar berukuran 720x1080 pixel. Hasilnya adalah 'filmis' dibandingkan dengan sebuah 'televisual' . Pada pertengahan 1990-an, Sony dengan kamera format DCR-VX1000 MiniDV menjanjikan kualitas gambar seperti itu, sementara masih tidak sebagus film, cukup baik untuk
low-budget film- bagi pembuat film untuk memulai syuting fitur mereka secara digital dan editing mereka di program desktop yang relatif murah dalam perangkat lunak. Kamera high-end menggunakan ukuran yang minimal atau kompresi yang tidak melalui proses untuk mengurangi ukuran file, sedangkan sistem biasanya MiniDV menggunakan tingkat kompresi yang tinggi, untuk mengurangi kualitas gambar demi kepentingan penyimpanan ukuran.
Karena jangkauan dinamis yang lebih rendah dari kamera digital, maka koreksinya buruk
dan lebih sulit untuk tampil di pasca-produksi. Solusi parsial untuk masalah ini adalah penambahan video-kompleks untuk membantu teknologi selama proses syuting. Ini mungkin 'hanya' terdiri dari monitor video high-kinerja yang memungkinkan sinematografer untuk melihat apa yang sedang direkam dan untuk membuat penyesuaian yang diperlukan. Peningkatan penggunaan teknologi digital dan proses dalam produksi film fitur juga mempengaruhi logistik produksi film, memungkinkan lokasi yang sepenuhnya digantikan oleh digital yang dibuat. Singkatnya, hanya bisa menambah suatu ruang nyata, dimana benda kecil atau bagian dari sebuah adegan digital yang ditambahkan ke rekaman asli. Pandangan lebih luasnya, digital dibuat dapat secara substansial yang ditambahkan ke ruang 3-D yang nyata, seperti yang terjadi dengan adegan Coliseum dalam Gladiator (Scott 2000). Sejauh ini, gambar digital dapat membentuk penggantian diegesis dunia nyata dengan menciptakan sesuatu yang berbau digital, seperti di Sky Kapten dan tomorrow world (Conran 2004) di mana para aktor yang hanya non-digital dibuat suatu unsur dalam film.
Sebuah keuntungan lebih lanjut dari penciptaan digital set dan lokasi, terutama yang di
usia meningkatkan serials film, sekuel dan waralaba, adalah bahwa set virtual, sekali dibuat dalam komputer dan disimpan sebagai data, dapat dengan mudah diregenerasi untuk produksi film masa depan, membuat sekuel waralaba menguntungkan dan lebih mudah untuk membentuk dan membuatnya. Skala ekonomi dalam proses digital itu digunakan untuk mengimbangi biaya produksi film modern. Yang menarik adalah bahwa penggantian virtual tempat lokasi nyata
mengalami peningkatan pada produksi sekarang yang dikenal bernilai mahal.

Digital Cinema merujuk pada penggunaan teknologi digital untuk mendistribusikan dan menayangkan gambar bergerak. Sebuah film dapat didistribusikan lewat perangkat keras, piringan optik atau satelit serta ditayangkan menggunakan proyektor digital alih-alih proyektor film konvensional. Digital Cinema berbeda dari HDTV atau televisi high definition. Digital Cinema tidak bergantung pada penggunaan televisi atau standar HDTV, aspek rasio atau peringkat bingkai. Proyektor digital yang memiliki resolusi 2K mulai disebarkan pada tahun 2005, dan sejak tahun 2006 jangkauannya telah diakselerasi.

Digital Cinema dapat dibuat dengan media video yang untuk penayangannya dilakukan transfer dari format 35 milimeter (mm) ke format high definition (HD). Proses transfer ke format HD melalui proses cetak yang disebut dengan proses blow up. Setelah menjadi format HD, penayangan film dilakukan dari satu tempat saja, dan dioperasikan ke bioskop lain dengan menggunakan satelit, sehingga tidak perlu dilakukan salinan film. Contohnya, dari satu bioskop di Jakarta, film dapat dioperasikan atau diputar ke bioskop-bioskop di daerah melalui satelit.

Perbedaan Digital Cinema

Perbedaan Digital Cinema dengan sinema konvensional adalah dalam hal visualisasi dan suara. Visualisasi digital cinema berbentuk garis-garis, sementara sinema konvensional menggunakan media pita seluloid, yang memiliki struktur visualisasi berupa titik-titik. Untuk kualitas suara, digital cinema hanya dapat memberi kualitas suara stereo. Sementara sinema konvensional, memiliki kualitas suara dolby surround.

Kamera untuk Digital Cinema

Pada tahun 2007, medium pengalihan paling umum bagi fitur yang ditayangkan secara digital adalah pita film 35 mm yang dipindai dan diproses pada resolusi 2K (2048×1080) atau 4K (4096×2160) lewat penengah digital. Kebanyakan fitur digital saat ini sudah bisa merekam pada resolusi 1920x1080 menggunakan kamera seperti Sony CineAlta, Panavision Genesis atau Thomson Viper. Kamera-kamera baru seperti Arriflex D-20 dapat menangkap gambar dengan resolusi 2K, dan kamera bernama Red One keluaran perusahaan Red Digital Cinema Camera Company dapat merekam dengan resolusi 4K. Penggunaan proyeksi 2K pada sinema digital telah mencapai lebih dari 98 persen. Baru-baru ini perusahaan Dalsa Corporations Origin mengembangkan kamera yang dapat merekam dengan resolusi 4K RAW. Selain itu, ada jenis kamera lain yang dapat merekam dengan resolusi 5K RAW seperti RED EPIC. Ada juga kamera yang dapat merekam dengan resolusi 3K RAW (untuk menyesuaikan dengan anggaran pembuat film ) seperti RED SCARLET

Proyektor Digital Cinema

Untuk menayangkan sinema digital, diperlukan proyektor yang berbeda dengan proyektor untuk menayangkan sinema konvensional. Terdapat dua jenis proyektor yang dapat digunakan untuk menayangkan sinema digital, yaitu proyektor DLP dan DCI. Proyektor DLP memiliki resolusi 1280×1024 atau setara dengan 1.3 megapiksel. Sedangkan proyektor DCI memiliki dua jenis spesifikasi, yaitu 2K (2048×1080) atau setara 2.2 MP pada 24 atau 48 bingkai dan 4K (4096×2160) atau setara dengan 8.85 MP pada 24 bingkai per detik. Proyektor DLP dikembangkan oleh perusahaan Texas Instrument. Ada tiga pabrik yang telah memiliki lisensi untuk memproduksi teknologi sinema DLP yaitu Christie Digital Systems, Barco, dan NEC. Christie, yang telah lama berdiri sebagai pabrik teknologi proyektor sinema konvensional, adalah pembuat proyektor CP2000—bentuk dasar proyektor yang paling banyak tersebar secara global (total kira-kira 5,500 unit). Barco meluncurkan seri DLP dengan resolusi 2K yang masih kalah dengan proyektor sinema digital DCI. Barco juga merancang dan mengembangkan produk proyektor dengan tingkat visualisasi berbeda bagi pembuat film profesional. NEC memproduksi Starus NC2500S, NC1500C dan NC800C proyektor 2K bagi layar kecil, medium dan besar. NEC juga memproduksi sistem penyedia sinema digital Starus dan alat-alat lain untuk menghubungkan dengan computer, tape analog atau digital, penerima satelit, DVD dan lain-lain. Sementar NEC adalah pendatang baru dalam industri proyektor sinema digital, Christie adalah pemain utama dalam pasar Amerika Serikat. Sedangkan Barco memimpin pasar Eropa dan Asia. Ketika perusahaan Texas Instrument pertama kali memperkenalkan teknologi proyektor 2K, perusahaan proyeksi digital merancang dan menjual banyak unit proyektor sinema digital DLP. Ketika proyektor dengan resolusi melebihi proyektor 2K dikembangkan, pasar mulai menawarkan proyektor berbasis DLP bagi tujuan non-sinema. Pada januari 2009, lebih dari 6000 sistem sinema digital berbasis DLP dipasang di seluruh dunia, di mana sebanyak 80 persen berlokasi di Amerika utara.

Teknologi penayangan sinema digital lainnya dibuat oleh perusahaan Sony dan diberi label teknologi "SXRD" . Proyektor-proyektor SXRD seperti SRXR210 dan SRXR220, menawarkan resolusi 4096x2160 (4K) dan memiliki piksel empat kali lebih banyak dari pada proyektor 2K. Proyektor sinema digital Sony juga memiliki harga yang kompetitif dengan proyektor DLP 2 K yang memiliki resolusi lebih rendah (2048x1080 atau setara dengan 2.2 megapiksel).

Proses pasca-produksi sinema digital

Pada proses pasca produksi, negatif film pada kamera asli dipindai menjadi format digital pada pemindai resolusi tinggi. Dengan teknologi digital, data dari kamera gambar bergerak bisa diubah menjadi format berkas gambar yang enak untuk ditonton. Semua berkas gambar dapat dikoreksi agar cocok dengan daftar edit yang dibuat oleh editor film. Hasil akhir proses pasca produksi adalah penengah digital yang digunakan untuk memindahkan rekaman gambar bergerak pada film ke cinema digital. Semua suara, gambar, dan elemen data produksi yang telah dilengkapi dapat dipasang pada pusat distribusi sinema digital yang berisi semua material digital yang harus ditayangkan. Gambar dan suara kemudian dimampatkan dan dikemas dalam bentuk kemasan sinema digital (dalam bahasa inggris: Digital Cinema Package atau DCP.

Keuntungan Ekonomi

Sebelum teknologi digital muncul dalam pembuatan sinema, sinema harus dibuat dengan pita seluloid yang harganya amat mahal. Pita seluloid 35 mm satu rollnya berharga empat juta dan hanya mampu merekam sepanjang empat menit. Berarti untuk membuat sinema berdurasi 100 menit dibutuhkan dana sekitar 25 juta rupiah. Itu hanya untuk merekam gambar dan belum untuk mengedit dan memperbanyak gambar. Pada sinema seluloid, sinema harus melalui proses printing dan blow up yang bisa menghabiskan dana minimal 233 juta rupiah. Sedangkan biaya untuk membuat kopi sinema adalah 10 juta rupiah. Padahal untuk diputar di bioskop di seluruh Indonesia, sebuah sinema minimal harus memiliki 25 kopi. Artinya produser harus menyediakan dana 250 juta rupiah.

Dengan menggunakan teknologi digital, biaya pembuatan sinema menjadi amat murah. Sinema digital dapat dibuat dengan menggunakan kamera Betacam SP yang kasetnya berharga 110 ribu rupiah dengan kemampuan merekam hingga 30 menit. Sinema digital juga bisa dibuat dengan Digital Video atau Digital Beta yang lebih murah lagi. Dengan biaya 400 ribu rupiah, Digital video mampu merekam gambar hingga 180 menit. Dibandingkan dengan sinema seluloid, pembuatan sinema dengan teknologi digital bisa menekan biaya hingga 500 juta rupiah. Karena sinema digital tidak perlu melalui proses printing atau blow up. Dengan menggunakan sinema digital, hanya diperlukan biaya untuk proses encoding sebesar 5 juta rupiah. Oleh karena itu, bagi para produser, sinema digital merupakan teknologi yang sangat murah. Teknologi ini dapat dijadikan alternatif untuk para pembuat film yang ingin berkarya dengan biaya seminim mungkin.

Penayangan Digital Cinema

Walau digital cinema memiliki keuntungan dalam tahap produksi dan pascaproduksi namun penayangannya masih menjadi hambatan. Sebagian besar bioskop di Indonesia hanya memiliki alat untuk memutar sinema seluloid. Satunya-satunya cara agar digital cinema bisa diputar di bioskop hanyalah dengan mencetaknya kembali dalam pita seluloid. Sedangkan tidak semua digital cinema yang berformat video bisa ditransfer menjadi seluloid karena standar video adalah 625 garis atau 525 garis. Sedangkan, kualitas imaji seluloid 35 mm setara dengan 2.500 garis. Jadi kalau dari video digital ditransfer ke seluloid, hasilnya akan jauh dari memuaskan. Di Indonesia untuk saat ini hanya Blitzmegaplex yang mempunyai peralatan yang mampu menayangkan film dengan format digital.

Contoh Cinema Digital

Dolby ® Digital Cinema adalah solusi lengkap dan handal, dan fleksibel yang menggabungkan kemudahan pengoperasian dengan pengalaman pelanggan yang tak tertandingi.

Penawaran yang luar biasa dengan gambar dan kualitas suara.

Integrasi mudah dengan otomatisasi yang ada pada sistem suara

Memastikan fleksibilitas untuk memenuhi perubahan kebutuhan Anda dan melindungi investasi Anda selama bertahun-tahun yang akan datang

Secara efisien memenuhi kebutuhan anda dengan mengelola dan menyajikan fitur

Memenuhi kunci Digital Cinema Initiatives (DCI)

DDolby Digital Cinema adalah sebuah solusi yang komprehensif, kuat, dan dapat diandalkan dalam bidang digital.

Pada intinya Dolby ® Screen Server (DSS200). Salah satu platform menyediakan semua yang anda perlukan

Dolby Teater Management System (TMS) software mudah digunakan sehingga dapat menyelesaikan pengendalian operasional Anda, dan memungkinkan Anda melakukan penjadwalan baik secara lokal maupun remote.

Dolby Digital Cinema dengan mudah dan otomatisasi dalam system suara, memberikan kualitas gambar dan suara yang luar biasa menakjubkan. Dolby Digital Cinema memenuhi spesifikasi kunci DCI yang memberikan kehandalan yang luar biasa, dan tingkat keamanan tertinggi dalam bisnis. Sistem server digital ini adalah yang pertama untuk mencapai Federal Information Processing Standards (FIPS) sertifikasi Tingkat 3, memastikan tingkat tertinggi dalam perlindungan anti pembajakan sebagaimana ditentukan oleh DCI.

Software Yang Digunakan Untuk Live Streaming


Di zaman yang telah canggih ini kita dapat menyaksikan siaran tidak hanya melalui media televisi saja. Kita dapat menyaksikannya melalui media internet. Untuk dapat mengaksesnya kita membutuhkan software-software yang mendukung antara lain: TVants, Justin.TV, SopCast dan masih banyak yang lainnya.

TVants

Diatas merupakan tampilan siaran dengan menggunakan TVants. Kelebihan dalam menggunakan software ini adalah lebih mudah dalam hal konektivitas. Tetapi software ini juga memiliki kelemahan yaitu bahasa yang digunakan masih terbatas sehingga kita agak kesulitan dalam siarannya.

Justin.TV

Tampilan jika menggunakan Justin.TV. Kelebihan dari Justin.TV sendiri yaitu banyak pilihan channel TV dari berbagai negara disiarkan secara online dan bisa diakses secara gratis. Bahkan banyak juga film-film yang baru tayang di bioskop Indonesia, justru telah tersiar di Justin.TV. Kelemahannya adalah membutuhkan bandwith yang besar.
            Belum lama ini Justin.TV melakukan perubahan dalam tampilannya yang menjadi lebih sederhana. Kemudahan yang ditawarkan adalah pengguna dapat langsung memulai streaming video dan melakukan import friend setelah pengguna registrasi dan login di Justin.TV.

SopCast
SopCast terbaru adalah cara yang sederhana untuk dapat menyiarkan audio dan video atau menonton video dan mendengarkan radio di internet langsung secara gratis. SopCast Terbaru dapat mengadaptasi teknologi P2P (Peer-to-Peer), aplikasi ini sangat efisien dan mudah untuk digunakan. SopCast Terbaru dapat menjadikan setiap orang menjadi penyiar tanpa biaya server yang sangat tinggi dan bandwidth yang cepat. Anda dapat membangun stasiun TV Anda sendiri dibandingkan dengan situs komersil dengan sumber yang minimal. Dengan SopCast terbaru, Anda dapat melayani 10.000 pengguna yang online dengan PC dan koneksi broadband rumah.
Berikut beberapa fitur dari SopCast Terbaru :
  • Mendapatkan data stream dari berbagai node pada jaringan SOP pada waktu yang sama (P2P transfer), membuat saluran lebih banyak dan stabil
  • Membuat saluran Anda sendiri dan menyiarkannya di internet
  • Streaming berbagai tipe file, , asf, wmv, rm, rmvb. Dan lain-lain
  • Mendukung untuk memainkan secara looping
  • Merekam klip ketika Anda menontonya
  • Mendukung autentifikasi pada broadcaster dan audiens
  • Mendukung URL visit
  • Mendukung berbagai chanel broadcast pada server yangsama.
  • Dan lain-lain


Perkembangan Televisi Digital


Televisi digital atau DTV adalah jenis televisi yang menggunakan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menyiarkan sinyal gambar, suara, dan data ke pesawat televisi. Televisi digital merupakan alat yang digunakan untuk menangkap siaran TV digital, perkembangan dari sistem siaran analog ke digital yang mengubah informasi menjadi sinyal digital berbentuk bit data seperti komputer.

Transisi TV analog ke TV digital

Transisi dari pesawat televisi analog menjadi pesawat televisi digital membutuhkan penggantian perangkat pemancar televisi dan penerima siaran televisi. Agar dapat menerima penyiaran digital, diperlukan pesawat TV digital. Namun, jika ingin tetap menggunakan pesawat televisi analog, penyiaran digital dapat ditangkap dengan alat tambahan yang disebut kotak konverter (Set Top Box). Ketika menggunakan pesawat televisi analog, sinyal penyiaran digital akan dirubah oleh kotak konverter menjadi sinyal analog. Dengan demikian pengguna pesawat televisi analog tetap dapat menikmati siaran televisi digital. Pengguna televisi analog tetap dapat menggunakan siaran analog dan secara perlahan-lahan beralih ke teknologi siaran digital tanpa terputus layanan siaran yang digunakan selama ini.

Proses transisi yang berjalan secara perlahan dapat meminimalkan risiko kerugian terutama yang dihadapi oleh operator televisi dan masyarakat. Resiko tersebut antara lain berupa informasi mengenai program siaran dan perangkat tambahan yang harus dipasang tersebut. Sebelum masyarakat mampu mengganti televisi analognya menjadi televisi digital, masyarakat menerima siaran analog dari pemancar televisi yang menyiarkan siaran televisi digital.

Bagi operator televisi, risiko kerugian berasal dari biaya membangun infrastruktur televisi digital terestrial yang relatif jauh lebih mahal dibandingkan dengan membangun infrastruktur televisi analog. Operator televisi dapat memanfaatkan infrastruktur penyiaran yang telah dibangunnya selama ini seperti studio, bangunan, sumber daya manusia, dan lain sebagainya apabila operator televisi dapat menerapkan pola kerja dengan calon penyelenggara TV digital. Penerapan pola kerja dengan calon penyelenggara digital pada akhirnya menyebabkan operator televisi tidak dihadapkan pada risiko yang berlebihan. Di kemudian hari, penyelenggara penyiaran televisi digital dapat dibedakan ke dalam dua posisi yaitu menjadi penyedia jaringan, serta penyedia isi.

Perpindahan dari sinyal analog ke sinyal digital sudah dilakukan di sejumlah negara maju beberapa tahun yang lalu. Di Jerman, proyek penggunaan sinyal digital dimulai sejak tahun 2003 di Berlin dan tahun 2005 di Muenchen. Sementara Perancis dan Inggris telah menghentikan secara total siaran televisi analog mereka. Di Amerika Serikat, melalui Undang-Undang Pengurangan Defisit tahun 2005 yang telah disetujui oleh Kongres, setiap stasiun televisi lokal yang berdaya penuh diminta untuk mematikan saluran analog mereka pada tanggal 17 Februari 2009 dan meneruskan siaran dalam bentuk digital secara eksklusif. Sementara Jepang akan memulai siaran televisi digital secara massal pada tahun 2011.

Perkembangan TV digital di Indonesia
Industri televisi Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1962 dimulai dengan pengiriman teleks dari Presiden Soekarno yang berada di Wina kepada Menteri Penerangan Maladi pada 23 Oktober 1961. Presiden Soekarno memerintah Maladi untuk segera mempersiapkan proyek televisi. TVRI adalah stasiun televisi pertama yang berdiri di Indonesia.

TVRI melakukan siaran percobaan pada 17 Agustus 1962 dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. TVRI mengudara untuk pertama kali tanggal 24 Agustus 1962 dalam acara siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Stadion Utama Gelora Bung Karno. Sejak saat itu dirintis pembangunan stasiun televisi daerah pada akhir tahun 1964. Kemudian dibentuk stasiun-stasiun produksi keliling (SPK) tahun 1977 sebagai bagian produksi dan merekam paket acara untuk dikirim dan disiarkan melalui stasiun pusat TVRI Jakarta di beberapa ibu kota provinsi. Konsep SPK diadopsi oleh beberapa stasiun televisi swasta berjaringan tahun 1990-an. Televisi swasta menggunakan kanal frekuensi ultra tinggi (UHF) dengan lebar pita untuk satu program siaran sebesar 8 MHz.

Migrasi dari sistem penyiaran analog ke digital menjadi tuntutan teknologi secara internasional. Aplikasi teknologi digital pada sistem penyiaran televisi mulai dikembangkan di pertengahan tahun 1990-an. Uji coba penyiaran televisi digital dilakukan pada tahun 2000 dengan pengoperasian sistem digital dilakukan bersamaan dengan siaran analog sebagai masa transisi.

Tahun 2006, beberapa pelaku bisnis pertelevisian Indonesia melakukan uji coba siaran televisi digital. PT Super Save Elektronik melakukan uji coba siaran digital bulan April-Mei 2006 di saluran 27 UHF dengan format DMB-T (Cina) sementara TVRI/RCTI melakukan uji coba siaran digital bulan Juli-Oktober 2006 di saluran 34 UHF dengan format DVB-T. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor:07/P/M.KOMINFO/3/2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Standar Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak di Indonesia menetapkan DVB-T ditetapkan sebagai standar penyiaran televisi digital teresterial tidak bergerak.

Stasiun-stasiun televisi swasta memanfaatkan teknologi digital pada sistem penyiaran terutama pada sistem perangkat studio untuk memproduksi, mengedit, merekam, dan menyimpan program. Sementara itu penyelenggara televisi digital memanfaatkan spektrum dalam jumlah besar, dimana menggunakan lebih dari satu kanal transmisi. Penyelenggara berperan sebagai operator jaringan dengan mentransmisikan program stasiun televisi lain secara terestrial menjadi satu paket layanan. Pengiriman sinyal gambar, suara, dan data oleh penyelenggara televisi digital memakai sistem transmisi digital dengan satelit atau yang biasa disebut sebagai siaran TV berlangganan.

TVRI telah melakukan peluncuran siaran televisi digital pertama kali di Indonesia pada 13 Agustus 2008. Pelaksanaan dalam skala yang lebih luas dan melibatkan televisi swasta dapat dilakukan di bulan Maret 2009 dan dipancarkan dari salah satu menara pemancar televisi di Joglo, Jakarta Barat. Sistem penyiaran digital di Indonesia mengadopsi sistem penyiaran video digital standar internasional (DVB) yang dikompresi memakai MPEG-2 dan dipancarkan secara terestrial (DVB-T) pada kanal UHF (di Jakarta di kanal 40, 42, 44 dan 46 UHF) serta berkonsep gratis untuk mengudara. Penerimaan sinyal digital mengharuskan pengguna di rumah untuk menambah kotak konverter hingga pada nantinya berlangsung produksi massal TV digital yang bisa menangkap siaran DVB-T tanpa perlu tambahan kotak konverter.



Seni Digital pada Gambar Kontemporer


SENI DIGITAL GAMBAR KONTEMPORER

      Seni Kontemporer adalah salah satu cabang seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer itu artinya kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini; jadi seni kontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan zaman dulu dan berkembang sesuai zaman sekarang. lukisan kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Misalnya lukisan yang tidak lagi terikat pada Rennaissance. Begitu pula dengan tarian, lebih kreatif dan modern.
Sehingga menegaskan bahwa seni kontemporer adalah karya yang secara tematik merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui. Atau pendapat yang mengatakan bahwa “seni rupa kontemporer adalah seni yang melawan tradisi modernisme Barat”. Ini sebagai pengembangan dari wacana pascamodern (postmodern art) dan pascakolonialisme yang berusaha membangkitkan wacana pemunculan indegenous art (seni  
Kata “kontemporer” yang berasal dari kata “co” (bersama) dan “tempo” (waktu). pribumi). Atau khasanah seni lokal yang menjadi tempat tinggal (negara) para seniman.
Secara awam seni kontemporer bisa diartikan sebagai berikut:
1.      Tiadanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, anarki, omong kosong, hingga aksi politik.
2.      Punya gairah dan nafsu “moralistik” yang berkaitan dengan matra sosial dan politik sebagai tesis.
3.      Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable.
Secara garis besar, seni kontemporer dapat dibagi 2 yaitu pop art dan optic art
  • Pop art
Popular art diaplikasikan dalam berbagai hal diantaranya kaleng minuman, bungkus makanan, poster film, komik, mainan, barang-barang industri, dll.
  • Optic art
Optic art menekankan oada permainan ilusi optic dari mata si pengamat, optic art berkembang pada paruh kedua abad ke-20
Untuk menjadi kategori seni yang otonom ternyata gambar masih membutuhkan perjalanan panjang. Seni rupa modern yang lebih mementingkan konsep, semakin menempatkan gambar—sebagai proses preparatory—semakin tidak penting. Dari masa Renesans sampai akhir abad 19 virtuositas menggambar sepertinya menjadi keharusan bagi seniman agar dapat menghasilkan karya lukis dan patung yang berkualitas. Sebaliknya seniman modern justru mencurigai hal-hal yang berkait dengan aspek ketrampilan, termasuk ketrampilan menggambar. Deanna Petherbridge, seorang prefesor dalam bidang gambar menjelaskan situasi diametrikal antara masa klasik dengan kepercayaan pada pendekatan akademik melawan masa modern yang mendestruksi pendekatan akademik, “The practice of art in this century has been no less closely tied to education than it has in other times. Eighteenth-century neoclassicism, for example, is as closely allied with the spread of the academies. As modernism has been with the destruction of the academic system. The academy, as we all know, was posited on the teaching of life gambar, in fact learning art in the West since Renaissance has been entirely to do with question of disegno—as both drawing and composisitional design.”
Maka tak mengherankan jika bagi para seniman modernis, gambar, khususnya dalam pendekatan akademis menjadi wilayah yang tidak penting. Tentu saja seniman modern tetap membutuhkan visualisasi bagi gagasan dan pemikirannya, namun hal tersebut tak harus diterapkan melalui ketrampilan gambar yang canggih. Gambar atau sketsa yang dihasilkan oleh para seniman modern, konseptual dan avant garde tidak menunjukkan virtuositas gambar seperti para seniman di abad-abad sebelumnya. Formalisme dan pencarian esensi seni lukis telah menggeser pentingnya gambar sebagai proses preparatory untuk melukis. Karena itu segi ketrampilan menggambar ala akademisme (kemampuan gambar anatomis) makin hilang dan tidak penting di masa-masa seni rupa modern dan era neo avant-garde, yaitu masa-masa transisi dari seni rupa modern menuju seni rupa kontemporer.
Demikian pula, di masa-masa tersebut akademi seni rupa di Barat memandang pembekalan ketrampilan, termasuk gambar semakin tidak relevan, dan mengurangi secara drastis mata kuliah menggambar. Hal yang dikenal dengan sebutan de-skilling ini berkaitan (catatan dari subject of art) dengan arahan dan prioritas utama pada segi konsep. Proses menuju de-skilling ini agaknya sesuai dengan paradigma seni rupa modern, dan dalam beberapa hal kemudian juga ditunjukkan oleh seni rupa kontemporer—khususnya dalam karya-karya yang bersifat transgresif. Kendati kemudian juga terbukti bahwa seni rupa kontemporer menunjukkan pula karakter yang berlawanan dengan kecenderungan de-skilling, yaitu munculnya kembali (revival) kebutuhan terhadap skill atau ketrampilan.
Seni Gambar Kontemporer Indonesia
Dalam konteks seni rupa modern Indonesia gambar atau istilah gambar menduduki posisi penting. Sebelum istilah seni atau seni lukis dipergunakan dan populer, maka “gambar” merupakan istilah yang kerap dipergunakan untuk menunjuk beragam seni rupa 2 dimensi. Tentu kita masih ingat keberadaan Persagi, singkatan dari persatuan ahli-ahli gambar Indonesia, kendati yang terutama dipraktekkan adalah seni lukis. Istilah gambar dapat merujuk pada seni lukis karena seni lukis selalu menggambarkan seseorang atau sesuatu, lukisan adalah gambar atau gambaran tentang sesuatu. Hal itu juga menunjukkan bahwa istilah gambar, khususnya dalam konteks budaya Indonesia masa lalu memiliki pengertian yang lebih luas dari pengertian drawing. Sanento Yuliman almarhum dengan cakap menjelaskan hal tersebut: “Yang pertama-tama perlu diingat dalam membicarakan gambar ialah bahwa kata “gambar” mempunyai lingkup pengertian yang luas. Yang tampak di layar televisi ketika pesawat dihidupkan, yang kelihatan di layar bioskop ketika film main, demikian juga foto di harian dan majalah, lukisan, peta, denah, grafik, dan sebagainya, itu semua dalam bahasa Indonesia disebut “gambar”.
Saat ini pengertian istilah gambar tampaknya menyempit, khususnya dalam medan seni rupa kontemporer Indonesia, mendekati pada pengertian drawing dalam bahasa Inggris. Namun demikian apa yang diutarakan Sanento Yuliman menunjukkan bahwa potensi seni rupa—apapun mediumnya—sebagai wilayah penggambaran (representasi) sesuatu hal atau persoalan merupakan hal yang mudah diterima sejak lama. Karena itu, tak mengherankan jika gambar sebagai wilayah atau kategori seni yang otonom mudah diterima oleh masyarakat. Hal itu ditunjukkan oleh penerimaan yang cukup terbuka pada karya-karya seni gambar. Terbukti, saat ini beberapa seniman muda menjadi populer semata-mata menggunakan teknik/medium gambar dalam berkarya.
Pameran ini menandai apa yang dijelaskan oleh Laura Hoptman, “it also mark a moment when drawing has become a primary mode of expression for the most inventive and influential, artist of the time.” Terbukti, wajah seni rupa kontemporer Indonesia ditandai oleh karya-karya yang dikerjakan dengan teknik gambar dan masuk dalam kategori gambar, atau dalam hal ini lebih tepat disebut seni gambar. Barangkali istilah seni gambar terlalu berlebihan, sebab dalam bahasa Inggris cukup disebut drawing, bukan drawing-art. Namun, penyebutan seni gambar memang sebuah penekanan, seperti juga istilah seni lukis dan seni patung yang merupakan padanan istilah painting dan sculpture. Dengan demikian, jelas bahwa pameran ini berkenaan dengan gambar sebagai karya seni, khususnya dalam konteks seni rupa kontemporer.
Namun demikian, saat ini, tak mudah menetapkan secara tegas batasan seni gambar. Dalam beberapa hal seni gambar bergerak masuk dalam batasan seni lukis. Hal itu contohnya ditunjukkan oleh beberapa seni kontemporer kelas dunia yang karyanya dianggap sebagai drawing, namun juga diketegorikan sebagai painting. Menurut Emma Dexter karya-karya Marlene Dumas dan Elizabeth Payton menunjukkan kualitas “antara” (drawing dan painting): “In the case of Dumas, gambar has always featured heavily in her exhibitions, the juxtaposition between the more final and ‘developed’ form of painting and the immediacy of gambar being an essential element in the presentation of her work. In other cases, artists such as Elizabeth Peyton and Katharina Wulff have blurred the distictions between drawing and painting, transferring some of the fragility and immediacy of drawing into their painting. Using thin paint or combining media to leave the white ground uncovered, thus gaining an increased sense of immediacy and responsiveness from a medium often associated with closure and ponderausness.
Penjelasan serupa ditunjukkan oleh Deanna Petherbridge, yang merujuk karya David Salle dan Anish Kapoor: “Salle’s triptych ‘walking the dog’ of 1982 is in oil and acrylic on cotton, although it is andoubtedly drawn in line, and Kapoor’s gouaches and moulded paper pieces from his Tate exhibition of 1989 are designated ‘gambar’ althought they have nothing to do with line.”
Harus diakui Pameran Seni Gambar Kontemporer bukanlah upaya menyuruk untuk memeriksa sejauh mana seniman menterjemahkan atau mencari kemungkinan seni gambar. Arah yang diambil dalam pameran ini lebih sederhana, yaitu menunjukkan bahwa gambar dapat menjadi media yang otonom untuk ekpresi kesenian—dalam konteks seni rupa kontemporer. Karena itu, sekali lagi, penyebutan seni gambar merupakan penekanan bahwa medium atau teknik gambar merupakan pilihan utama sang seniman dalam menghasilkan karya seni. Dengan kata lain pameran ini menekankan bahwa karya-karya yang ditampilkan adalah karya-karya dengan tujuan akhir adalah “karya seni” yang “selesai”, bukan semata-mata eskperimentasi gambar. Dalam upaya meletakkan gambar—yang selama ini dipandang sebagai proses preparatori untuk seni lukis dan patung, atau visualisasi awal gagasan—sebagai sebuah karya “seni gambar” yang mandiri maka meletakkannya sebagai kemungkinan representasi agaknya menjadi pilihan utama dalam pameran ini.
Maka, dalam pameran ini, konten representasi menjadi alibi bahwa karya yang ditampilkan adalah karya seni. Dengan kata lain pameran ini menegaskan bahwa dengan teknik gambar pun konten, subyek matter atau permasalahan yang hendak disuarakan dapat tampil dengan maksimal. Karena itu, bukan tanpa alasan bahwa para seniman diminta untuk menyuguhkan kemungkinan teknik gambar di atas kanvas. Hal ini tentu saja sama sekali tidak menciderai pengertian gambar, sebab istilah drawing on paper, menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu kemungkinan seperti juga kemungkinan drawing on canvas. Lagi pula hal tersebut pun telah ditunjukkan oleh banyak seniman yang memanfaatkan teknik gambar di atas kanvas dalam karya-karyanya. Bagaimanapun kanvas memiliki aura yang lebih dibandingkan kertas. Tentu saja hal ini tidak meniscayakan bahwa gambar di atas kertas lebih rendah. Pada akhirnya adalah persoalan pilihan, beberapa seniman memilih tetap menampikan karya seni gambar menggunakan kertas.
Namun demikian, terlepas dari konteks konten dan representasinya, perkara keragaman, eksplorasi dan konsep tentang gembar juga menjadi bagian penting yang menyertai pameran ini. Keragaman dan berbagai pendekatan gambar ditunjukkan dalam pameran ini, baik dari pengertian yang paling konvensional, sampai seni gambar yang cukup eksperimental. Demikian pula muncul karya-karya gambar yang sulit dibedakan dengan seni lukis. Hal itu harus diterima sebagai refleksi beragamnya pengertian dan kemungkinan seni gambar.
Selain itu, cukup menarik bahwa popularitas seni gambar muncul saat seni media baru menjadi bagian penting dalam seni rupa kontemporer. Agaknya ada relasi mutualistis, komplemen dan saling melengkapi. Perkembangan teknologi digital agaknya menyebabkan servis gambar terhadap proses melukis, khususnya seni lukis realis—yang kembali populer belakangan ini.—menjadi sangat berkurang. Saat ini proses penyapan dan pengerjaan seni lukis dan patung lebih mudah dibantu dengan perangkat digital, seperti kamera digital, software komputer dan proyektor LCD. Hal ini semakin membebaskan tugas gambar sebagai alat atau media bantu bagi seni lukis. Barangkali karena itu, belakangan banyak seniman memanfaatkan gambar sebagai wilayah otonom, sebagai terminal akhir praktek seninya. Yang menarik, bahkan seniman gambar pun saat ini memanfaatkan bantuan foto dan proyektor LCD dalam prose’s penyiapan dan pengerjaan seni gambarnya.
Tentu disadari bahwa pameran ini tidak akan dapat memberikan gambaran yang komprehensif dan inlukisf mengenai kenyataan sesungguhnya seni gambar dalam medan seni rupa Indonesia. Namun demikian, sebisa mungkin diupayakan keragaman seni gambar dapat diperlihatkan. Hal itu ditunjukkan mulai dari seni gambar yang menunjukkan kepiawaian membentuk dengan tarikan garis yang ekspresif dan artistik sampai karya-karya yang serupa dengan gambar komik.
Seperti telah disebutkan di awal bahwa gambar selalu menyertai peradaban dan kebudayaan manusia. Segala jenis citraan dalam kebudayaan tradisi umumnya merupakan gambar, baik berupa sungging, rajahan, maupun ukiran di berbagai material. Karena itu dirasa penting untuk menampilkan seni gambar dari ranah tradisi, dan sepertinya Bali merupakan wilayah yang paling tepat untuk dipilih. Bagaimanapun di Bali gambar sebagai sebentuk seni tradisi dapat bertahan dan tembus ke era modern. Hal itu ditunjukkan bagaimana para seniman Bali legendaris macam Lempad dan banyak lainnya dapat mengindividuasi pakem gambar tradisi menjadi suatu karya yang personal namun tetap dapat menunjukkan identitas dan karakter ke Balian.